Oleh : Aji Ramawidi
Mengenal Bujangga Manik
Pada masa pemerintahan Menak Pentor (1500-1531), di wilayah Kerajaan Balambangan pernah kedatangan seorang darwis dari Tatar Sunda, Jaya Pakuan alias Ameng Layaran alias Bujangga Manik namanya.
Pangeran Jaya Pakuan adalah seorang pangeran Sunda penganut Dharma Karesian. Putra dari Ratu Jayadewata Sri Baduga Maharaja (1482-1521) ini berusaha menghindari kehidupan mewah di istana dan berkelana meninggalkan negerinya untuk mencari kesempurnan hidup. Tujuan akhir perjalanannya adalah sebuah gunung suci di ujung timur Jawa, Gunung Telaga Wurung di Balambangan.
Gunung Talaga Wurung
Pada peta yang dibuat oleh Thomas Horsfield tahun 1812, kita dapat menemukan nama Telaga Wurung masih digunakan sebagai nama Gunung Baluran di ujung timur Jawa. Juga dalam peta kolonial tahun 1600 M yang ditunjuk oleh Samsubur, di sana nama Dapre Sada atau Bergh Deprasada, adalah nama untuk Gunung di ujung timur Jawa tersebut.
J. Noorduyn dalam Perjalanan Bujangga Manik Menyusuri Tanah Jawa mengatakan bahwa dahulu wilayah di sebelah selatan Panarukan masih disebut Lurah Telaga Wurung. Nama itu muncul pula sebagai Tlagorung (dari T[a]laga [W]urung) dalam Pamancangah, sebuah teks kuna dari Bali yang disunting dan diterjemahkan oleh Berg. Jadi pada saat Bujangga Manik menuliskan naskahnya itu, dia menjelaskan bahwa seluruh bagian timur laut Jawa Timur dari sebelah selatan Panarukan ke arah timur, juga mencakup Pegunungan Ijen dan Baluran adalah bagian dari wilayah Telaga Wurung ini.
“Ngalalar ka Gunung Hiang, disorang kalereunana. Sadatang ka Gunung Arum, na lurah Talaga Wurung, ti kalerna Panarukan, ka kencana Patukangan. Sadatang ka Balungbungan, di inya aing ditapa, sambian ngeureunan palay.”
“Tahering merelak najur, tahering nanjeur keun lingga, tethering puja nyanggraha, puja nyapu mugu-mugu, mangnyambat-walakeun maneh. Di inya aing teu heubeul, satahun deung sataraban.”
(Naskah Bujangga Manik)
Menurut Naskah Bujangga Manik tersebut, perjalanan Rshi Bujangga Manik melalui Gunung Hyang dari sebelah utara. Sampai ke Gunung Arum. J. Noorduyn menduga Gunung Arum ini adalah Gunung Ringgit di Situbondo. Dulu nama daerah ini adalah Telaga Wurung, yang telah kita bahas dalam Bab Menak Sembar di atas. Dari sini Bujangga Manik mengatakan bahwa Panarukan di sebelah utara dan Patukangan di sebelah selatan Panarukan.
Kadipaten Balungbungan
Selanjutnya Rshi Bujangga Manik memasuki Balungbungan (maksudnya bekas wilayah Kadipaten Balumbungan era Majapahit). Di Gunung Telaga Wurung (sekarang Baluran). Di sana dia bertapa sambil melepas lelah, kemudian bercocok tanam, mendirikan Lingga, menyembah, memuja, berdoa untuk kekuatan diri. Cukup lama dia tinggal di Balungbungan, setahun lebih (1510-1511), kemudian menuju Bali.
“Sadiri aing ti inya, leumpang aing ka lautkeun, sugan aya nu balayar, aing dek numpang ka Bali.”
(Naskah Bujangga Manik)
Menurut J. Noorduyn, pelabuhan ini adalah (pelabuhan Balambangan). Perhatikan keterangan J. Noorduyn berikut ini;
“Jelas bahwa pelabuhan laut ini adalah Blambangan yang sudah terkenal. Balambangan atau Balangbangan, yang terletak di sebelah selatan Banyuwangi sekarang, di Teluk Pangpang.”
(J. Noorduyn)
Jika keterangan J. Noorduyn ini benar, maka Kerajaan Balambangan telah membangun pelabuhan Teluk Pangpang. Mungkin itu memang pelabuhan kuno sejak masa Kadipaten Balumbungan dahulu.
Jong Balambangan
Dalam Naskah Bujangga Manik ini juga disebutkan bahwa dia terkagum-kagum melihat kemegahan kapal-kapal Balambangan.
Bentuknya khas; Terbuat dari Kayu Jati yang diukir, sangat indah, bagian atasnya berbentuk Naga (Dewa Bharuna), melengkung pada kemudinya yang terbuat dari Kayu Keling. Dek kapal dibuat dari Bambu Gombong, pilarnya dari Bambu Jowana, Dek bawah dari Bambu Kuning, penuh dengan Kayu Aren dan Bambu Seah. Pilarnya Kayu Laka yang berkilauan dicat merah. Disatukan dengan tali-tali dari Rotan Muka, dipadukan dengan Rotan Watalung, dicampur-kan dengan Rotan Omas. Penopangnya dari Kawat China, dilengkapi dengan 25 dayung yang berkilauan di setiap sisi.
Kita juga disuguhi keterangan bahwa Balambangan memang sudah multi etnis sejak awal. Kita bisa melihat komposisi awak kapal Balambangan ini yang berasal dari berbagai negeri; (1) Pendayung orang Maros (Sulawesi), (2) Babose dari Angke (Betawi), (3) Para pelaut orang Bangka, (4) Kelasi orang Lampung, (5) Juru mudi dari Jambi, (6) Juru tembak dari Bali, (7) Juru panah dari China, (8) Peniup sumpit dari Melayu, (9) Para petarung dari Salembu (Pulau Masalembo, Madura), (10) Para Prajurit orang Makassar, (11) Pelayan Kelasi dari Passai, dan (12) Para penimba dari Jompong Sagala, timbanya terbuat dari Gayung Perak.
Katyagan Baru
Keadaan Bali yang serang riuh ramai dengan persiapan perang, rupanya membuat Rshi Bujangga Manik yang sedang berada di Bali tidak kerasan. Sekitar satu tahun dia di sana (1511/1512), termasuk mengunjungi Ibukota Kerajaan Bali. Selanjutnya, dia kembali ke Balambangan di Jawa dengan menumpang kapal yang akan menuju Palembang dan Parayaman.
“Saturun ti na jong tutup, diri aing ti parahu. Sacunduk ka Gunung Raung, ka Lurah Talaga Wurung. Samungkur aing ti inya, sacunduk aing ka Baru. Eta na lurah Kategan.”
“Sadiri aing ti inya, ngalalar ka Padang Alun, cunduk ka Gunung Watangan, nu awas ka Nusa Barong. Samungkur aing ti inya, datang aing ka Sarampon.”
“sacunduk aing ka Cakru, sadiri aing ti inya leumpang aing maratngidul, datang ka Lurah Kenep, cunduk ka Lamajang Kidul, ngalalar ka Gunung Hiang datang aing ka Padra. Lambung Gunung Mahameru disorang kiuleunana.”
(Naskah Bujangga Manik)
Jadi sekembalinya dari Bali, Bujangga Manik berlabuh di Pelabuhan Teluk Pangpang lagi. Dari sana, Bujangga Manik menuju ke Gunung Raung di wilayah Telaga Wurung. Ini menunjukkan bahwa daerah Telaga Wurung itu mencakup seluruh puncak Gunung Raung juga.
Apa yang dituju oleh Bujangga Manik adalah tempat bernama Baru. Ada dua tempat bernama Baru di sini. Yang pertama adalah Desa dan Kecamatan Kalibaru, dan yang kedua adalah Desa Barurejo di Kecamatan Siliragung, yang sampai saat ini masih kaya akan peninggalan purbakala lintas periode. Jika Kalibaru adalah petilasan Maharshi Markandya yang hindu, maka Barurejo adalah jejak sebuah Kategan atau Katyagan, tempat para Biarawan Buddha.
Jalur Kuno di Padang Alun
Selesai dari Baru, Bujangga Manik kemudian pergi melalui jalur selatan di lembah diantara pegunungan Padang Alun (pegunungan Gumitir) sampai di Gunung Watangan (di Puger). Sebuah celah diantara pegunungan sampai saat ini masih menjadi jalur kuno yang kini menghubungkan antara Treblasala ke Malangsari, lurus ke barat melalui sebelah utara Gunung Betiri kawasan Taman Nasional Meru Betiri, hingga di Kalisanen, Kecamatan Tempurejo, Jember. Sepanjang jalur tersebut masih banyak ditemukan jejak peradaban masa silam lintas budaya, dari jaman Megalitik hingga jaman Balambangan.
Semua tempat yang dikunjungi oleh Bujangga Manik di atas adalah pemukiman keagamaan seperti Mandala, Kategan/Katyagan, Patapan, Kasogatan, Kadewa-Guruan, dll. Maka wajar jika dia tidak singgah ke pusat ibukota karena memang bukan itu tujuannya. Demikian perjalanan Bujangga Manik di wilayah Balambangan.
Bahan Bacaan
- Negarakretagama
- Hadi Sidomulyo (Nigel Bullough), Napak Tilas Perjalanan Mpu Prapanca
- Naskah Bujangga Manik
- J. Noorduyn, Perjalanan Bujangga Manik Menyusuri Tanah Jawa
- Suluk Balumbung
- Aji Ramawidi, Suluh Blambangan
- Samsubur, Sejarah Kerajaan Blambangan
- Suhalik, Lingkar Waktu