MASA AKHIR BALAMBANGAN

PENGANTAR

Sepeninggal Susuhunan Prabu Tawangalun, kekuasaan Balambangan mulai goyah. Perang saudara antara anak-anaknya mengakibatkan Balambangan semakin lemah dan terseok-seok menuju kehancurannya.

Sang penerus, Pangeran Prabu Sasranegara dikeroyok oleh saudara-saudaranya; Pangeran Macanagara dan Pangeran Mas Macanpura, mengakibatkan Pangeran Prabu Sasranegara gugur 27 hari setelah kematian ayahnya itu.

Patung Suhunan Prabu Tawangalun di Macanputih

Pangeran Prabu Sasranegara hanya menjabat sebagai raja selama 27 hari. Namun beruntung, istrinya berhasil selamat dan membawa sang putra mahkota, Mas Purba, melarikan diri ke Puger, kemudian ke Pasuruan dalam perlindungan Untung Surapati.

Selanjutnya Pangeran Macanagara dan Pangeran Mas Macanpura sama-sama mengklaim tahta. Dalam Babad Dalem disebutkan bahwa Raja Klungkung (yang masih berkerabat dengan Balambangan) saat itu, Dewa Agung Jambe, menjadi juru damai dengan mengutus raja Buleleng dan Karangasem.

Akhirnya Pangeran Macanagara menjadi raja dan Pangeran Mas Macanpura sebagai patihnya. Namun hal ini hanya berlangsung selama beberapa bulan, karena pada 1692 Pangeran Macanagara juga tersingkir.

Pangeran Macanagara yang berusaha dekat dengan VOC ditentang oleh raja-raja Bali dan juga oleh Surapati. Pangeran Mas Macanpura meminta bantuan mereka untuk menyingkirkan kakaknya itu.

Setelah itu, tampillah Pangeran Macanagara menguasai tahta sendiri dengan gelar Pangeran Pati (1691-1697).

Pangeran Pati Macanpura merasa terancam dengan masih adanya Mas Purba (putra Pangeran Prabu Sasranegara) di Pasuruan yang dilindungi Surapati. Untuk melawannya, Pangeran Pati Macanapura mengikuti jejak kakaknya, Balambangan kembali bekerjasama dengan VOC.

Ilustrasi Untung Surapati (1660-1706)
(sumber: pusaka jawatimuran)

Dalam Babad Trunajaya-Surapati disebutkan bahwa Pangeran Pati Mas Macanapura (disebut Mancapura) kemudian menggempur Pasuruan.

Pangeran Purba memperoleh bantuan dari Surapati di Pasuruan. Bahkan diambil sebagai menantu dengan menikahi Mas Ayu Gading, putri Surapati. Sebagai tetandhan diberikanlah kepadanya daerah Balambangan Barat yang sebelumnya direbut oleh Surapati.

Dengan bantuan Pasuruan dan raja-raja Bali, Pangeran Mas Purba berhasil merebut kembali tahta ayahnya dari Pangeran Pati Mas Macanapura pada tahun 1697.

BACA JUGA  Benarkah Perang Bayu adalah Perang Etnis dan Perang Agama?

RAJA-RAJA TERAKHIR

Kemudian Mas Purba naik tahta menjadi Raja Balambangan yang berkuasa antara tahun 1697-1736. Dia memiliki beberapa gelar, diantaranya:

  1. Pangeran Prabu Danureja
  2. Pangeran Mangkunegara
  3. Pangeran Pati II

Penggunaan gelar Pangeran Pati II, sama dengan pendahulunya itu karena dia menikahi putri pamannya tersebut, sehingga kemudian juga dikenal sebagai Pangeran Pati II (1697-1736).

Mahasiswa Studi Edukasi ke Situs Umpak Songo, peninggalan Prabu Danureja 1705.
(sumber: doc. ajisangkala.id)

Di tahun 1705, Pangeran Prabu Danureja mulai menempati ibukota baru yang dibangunnya di Alas Kebrukan yang kemudian disebut Arja Balambangan. Istananya bernama Manik Lingga.

Di tahun 1736, Pangeran Prabu Danureja mangkat dan dikremasi. Sembilan orang ikut melakukan sati. Wibawanya sangat dihormati di Bali dan mereka menyebutnya Dewa Nyurga.

Ritual Sati di Bali sekitar tahun 1597.
(sumber: Helen Cresse, Perempuan dalam Dunia Kakawin).

Pangeran Prabu Danureja meninggalkan beberapa orang anak, diantaranya yang terkenal ada tiga;

  • Pangeran Mas Sepuh/Pangeran Jingga,
  • Mas Ayu Dupati, istri I Gusti Ngurah Ketut Kabakaba, dan
  • Pangeran Putra/Wong Agung Wilis.

Yang menjadi raja menggantikannya adalah Pangeran Mas Sepuh/Pangeran Jingga bergelar Pangeran Prabu Danuningrat (1736-1763) atau Pangeran Pati III. Adik iparnya, I Gusti Ngurah Ketut Kabakaba, menjadi Agulagul (Senapati). Sedangkan adik bungsunya yaitu Pangeran Mas Putra menjadi Patih bergelar Patih Agung Wilis.

LATAR BELAKANG PERANG SEMESTA BALAMBANGAN

Peta “Java’s Oosthoek”, Balambangan dimasukan di dalamnya. (sumber: openaccess.leidenuniv.nl)

Berawal dari perjanjian antara Sunan Pakubuwana II Kartasura dengan wakil VOC Kapten Baron von Hohendorff (wakil Gubernur Jendera Johannes Thedens) tahun 1743 karena VOC berhasil membantu Pakubuwana II mendapatkan tahtanya kembala seusai Geger Pecina.

Dalam perjanjian tersebut, VOC mendapatkan seluruh pantai utara Jawa seperti; Sedayu, Lamongan, Jipang, Tuban, dan daerah-daerah wilayah Kartasura di Jawa Timur yang disebut Java’s Oosthoek.

Dengan demikian, seluruh wilayah Kerajaan Balambangan juga ikut diserahkan kepada VOC oleh Pakubuwana II, meskipun dengan tanpa hak.

Pakubuwana II dari Kartasura dan Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Van Imhoff (sumber: Wikipedia)

Para pejabat VOC menginginkan lebih banyak kekayaan, mereka tidak peduli dengan nasib para bawahannya yang harus kehilangan nyawa sebagai tumbal kerakusan tak terbatas mereka terhadap emas.

Untuk memimpin pemerintahan Java’s Oosthoek, VOC menunjuk Adipati Bangkalan, Panembahan Cakraningrat V sebagai Adipati Wedana (pemimpin seluruh Adipati se Jawa Timur), dan Panembahan Cakraningrat V menunjuk Bupati Banger, Mas Bagus Banger/Tumenggung Jayalelana II sebagai pelaksana tugasnya di Ujung Timur Jawa.

BACA JUGA  BANYUALIT; Pelabuhan Internasional dan Benteng Kerajaan Balambangan

Selanjutnya atas usaha Kyai Abdurahman Wirabrata dari Sumenep, Bupati Banger itu kemudian berhasil mencaplok Demong dari Senthong (Balambangan) menjadi wilayah Banger.

Selanjutnya, Perang Semesta Balambangan selama sepuluh tahun (1767-1777) dimulai.

PERANG KABAKABA (1767)

Basis Perjuangan Terakhir Trah Balambangan
(sumber: doc. ajisangkala.id)

Perang menghadapi VOC di Balambangan terjadi selama sepuluh tahun, antara tahun 1767-1777 dalam enam babak peperangan dan melibatkan banyak tokoh. Namun selama ini hanya Perang Bayu 1771 saja yang lebih banyak dikenal.

Akibatnya hanya Mas Rempeg sajalah yang menjadi tokoh, sedangkan tokoh lainnya terlupakan. Padahal jika mau disebutkan, para tokoh itu kemudian layak dikenal menjadi nama dari peperangan yang mereka ikuti.

Perang pertama di Balambangan terjadi pada tahun 1767. Pemimpin Balambangan saat tu adalah I Gusti Ngurah Ketut Dewa Kabakaba, menantu dari Pangeran Prabu Danureja. Pemimpin pasukan VOC yang terlibat adalah E. Blanke.

Dalam peperangan ini I Gusti Ngurah Ketut Dewa Kabakaba melakukan Puputan di Pampang karena dihadang oleh para penghianat saat hendak mencari bantuan ke Bali.

PERANG WILIS (1767-1768)

Pangeran Agung Wilis, Mas Rempeg Jagapati IV, dan Mas Ayu Wiwit (sumber: Banjoewangi Tempo Doeloe)

Mendengar wakilnya telah gugur di Balambangan, Pangeran Agung Wilis yang saat itu ada di Bali segera kembali untuk Atunggu Jarating Kaki.

Perang kedua-pun dimulai di bawah pimpinan Pangeran AGung Wilis ini. Beliau mengangkat senjata bersama pengikutnya dalam perang antara tahun 1767-1768. Akibat penghianatan dari Mas Weka, Mas Anom Kalungkung, dan Patih Sutanagara, akhirnya dia tertangkap di Banyualit dan dibuang ke Pulau Banda.

PERANG BAYU (1771-1773)

Ilustrasi Perang Bayu 1771 saat Mas Rempeg berduel dengan Senapati Alapalap
(sumber: doc. ajisangkala.id by. Kent Ali)

Perang ketiga meletus dua tahun kemudian. Pada 1771 seorang cicit dari kalangan selir Susuhunan Prabu Tawangalun yang bernama Jaka Pakis alias Mas Rempeg diagkat menjadi Jagapati ke-IV oleh Dalem Puger Mas Surawijaya.

Mas Rempeg Jagapati kemudian memimpin Perang Semesta Balambangan dari Benteng Bayu. Mas Surawijaya di Benteng Gumukjati bersama istrinya, Sayu Wiwit. Sedangkan Mas Sekar di Benteng Sekarputih.

BACA JUGA  ADAKAH KADIPATEN ANDELAN?

Dari ketiga benteng ini yang paling merepotkan VOC adaah Benteng Bayu, perang di sana menjadi yang paling sulit dihadapi sehingga akhirnya lebih banyak dikenal salam sejarah daripada perang di kedua benteng lainnya.

Sepeninggal Mas Rempeg Jagapati pada 18 Desember 1771, perang dilanjutkan oleh wakilnya Jagalara dengan menyamar sebagai Rempeg. VOC mengenalnya sebagai Rempeg saja karena mereka belum tahu jika Mas Rempeg Jagapati sudah meninggal.

Perang yang dikenal sebagai Perang Bayu II ini berlangsung hingga tahun 1772 ketika para tokohnya terbunuh, termasuk Jagalara, Sayuwiwit, dan sebagainya.

PERANG NUSA BARONG (1777)

Pulau Nusa Barong, lokasi perjuangan besar-besaran terakhir 1777 (sumber: Wikipedia)

Sesudah perang Bayu II, perlawanan masih terus berlangsung daam skala kecil dan cakupan wilayah yang semakin sempit.

Para pejuang sudah terpecah dalam beberapa kubu yang sulit berkomunikasi karena antar kubu diblokade oleh VOC. Karena itu VOC dengan mudah dapat mengalahkan mereka satu demi satu.

Namun demikian, pada 1777 masih terjadi perjuangan terakhir rakyat Balambangan di Nusa Barong yang dipimpin oleh Sindhu Brama.

Perang ini melibatkan 3.000 angatan laut terakhir Balambangan dan dan menjadi perang dengan medan paling sulit bagi VOC. Perang berakhir setelah para pemimpinnya tertangkap dan dibuang ke Surabaya dan sebagainya.

Pasca-perang Nusa Barong, masih terus terjadi perlawanan kecil-kecilan hingga tahun 1815. Perang yang dipimpin Arya Galedhak di Puger dan Bondowoso itu menjadi pamungkas dan menutup sejarah perlawanan rakyat Balambangan, setelah tidak ada raja sejak 1777.

Setelah itu tidak ada lagi perang melawan VOC hingga Perang Kemerdekaan Indonesia.

Lukisan ilustrasi Perang Wilis 1767-1768
(sumber: doc. ajisangkala.id by. Kent Ali)

Sumber:

C. Lekkerkerker, De Indische Gids
Darusuprapto, Babad Tawanglun
De Jonge, De Opkomst
HJ. De Graff, Disintegrasi Mataram di bawah Mangkurat I
HJ. De Graff, Terbunuhnya Kapten Tack
I Made Sudjana, Nagari Tawon Madu
JLA. Brandes, Babad Blambangan
J.W. de Stoppelaar, Blambangan Adatrech
M.H. Aji Ramawidi, Suluh Blambangan 1 & 2
Samsubur, Sejarah Kerajaan Blambangan
TS. Raffles, The History of Java
Winarsih, Babad Blambangan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You May Also Like