Pajang era Majapahit
Kesultanan Pajang, atau yang Penulis lebih senang menyebutnya Kesultanan Demak di Pajang adalah sebuah kesultanan yang berpusat di Jawa Tengah. Letaknya kira-kira saat ini berada di perbatasan Kelurahan Pajang, Kota Surakarta dan Desa Makamhaji, Kartasura, Sukoharjo.
Selain disebutkan di dalam beberapa buah karya sastra, Pajang disebutkan di dalam Prasasti Jayason (Jayapatra) dari zaman Raja Hayam Wuruk. Dengan demikian, Kerajaan Mandala Pajang sudah dikenal pada zaman Majapahit, terbukti dengan adanya beberapa orang Bhre yang menjabat di Pajang. Seperti;
- Bhre Pajang I; Rajasaduhita Iswari Dyah Nirtaja (1350-1388)
- Bhre Pajang II; Suhita (1389-1415)
- Bhre Pajang III; ? (1415-1429)
- Bhre Pajang IV; Sureswari (1429-1450)
- Bhre Pajang V; ? (1450-1478)
Negara daerah Pajang terletak di bagian barat daerah Surakarta. Menurut Prof. Dr. R.M.Ng. Poerbatjaraka, pada zaman pemerintahan Raja Dandang Géndis di Kadiri, Pajang merupakan sebuah kerajaan kecil dekat Solo (Poerbatjaraka, 1952: 31).
Penulis menduga, setelah 1478, Kerajaan Mandala Pajang telah bubar dan menjadi Kadipaten dengan pusatnya di Pengging, dipimpin oleh Adipati Pengging I Sri Makurung Adi Handayaningrat.
Runtuhnya Keling-Berdirinya Daha, 1498
Berdasar naskah-naskah babad, bahwa Kadipaten Pengging disebut sebagai cikal bakal Kerajaan Pajang-Islam.
Raja Majapahit terakhir, Dyah Suraprabhawa (1466-1478) jatuh setelah dikudeta oleh keempat keponakannya yang dipelopori oleh Sang Sunggwing Jinggan pada tahun 1478. Setelah Majapahit runtuh, para pemberontak mendirikan Kerajaan Keling sebagai kerajaan merdeka.
Raja-raja yang bertahta di Keling dan mengklaim sebagai penerus Majapahit adalah sebagai berikut;
- Bhatara i Keling I; Bhre Mataram
- Bhatara i Keling II; Bhre Pamwatan
- Bhatara i Keling III; Bhre Kertabhumi Dyah Ranawijaya
Naiknya Bhre Pamwatan dan disusul kemudian oleh Bhre Kertabhumi dengan mengesampingkan sang putra mahkota yakni Batara Vigiaya putra Batara Mataram, membuat sang putra mahkota menjadi murka.
Hal ini dimanfaatkan oleh Patih Udhara (Guste Pate Amdura) untuk mendudukkan Batara Vigiaya sebagai raja yang baru, sebuah pemberontakan pun terjadi tahun 1498.
Tapi sebelum itu Batara Vigiaya harus menikah dengan salah satu putri Guste Pate terlebih dahulu agar dia menjadi raja yang dapat dikendalikan oleh Patih sekaligus mertuanya itu. Demikianlah menurut Tome Pires yang menyebut raja Jawa saat itu adalah Batara Vigiaya dan bertahta di Dayo alias Daha.
Pengging; asal-usul Dinasti Pajang
Pemberontakan Guste Pate tahun 1498 terhadap Keling ini kemudian membuat raja Gelgel-Bali melepas kesetiaannya kepada Jawa. Tiga tahun dia tidak menghadap ke Jawa dan menyusun kekuatan untuk merdeka. Selanjutnya pada 1501 dia mulai menyerang Jawa tepatnya di Balambangan.
Raja Balambangan saat itu menurut Babad Sembar adalah Bima Koncar atau yang dalam Babad Dalem disebut dengan nama Sri Juru. Dia tewas dalam serangan Bali ke Balambangan.
Istri raja Balambangan ini adalah adik dari Guste Pate. Sang permaisuri kemudian meminta bantuan ke Daha dan pasukan Daha dikirimkan ke Balambangan untuk mengusir pasukan Bali. Informasi bantuan Daha ke Balambangan ini kita peroleh dari Babad Jaka Tingkir.
Dari versi ini, maka alasan serangan pasukan Handayaningrat ke Balambangan BUKAN karena untuk menyelamatkan putri Brawijaya, Ratna Ayu Pembayun yang diculik oleh raja Balambangan, Menak Daliputih putra Menak Jingga. Kisah Menak Jingga-nya saja hanya dongeng, apalagi kisah turunannya.
Peran Handayaningrat di Balambangan
Kita lanjutkan. Menurut informasi yang berhasil dihimpun oleh De Graaf, Handayaningrat adalah putra dari Raden Juru dimana Raden Juru adalah saudara dari Guste Pate. Jadi Handayaningrat adalah keponakan dari Guste Pate.
Dalam perang di Balambangan itu, Handayaningrat berhasil mengalahkan Prabu Kala Gerjita dan atas jasanya dia diangkat sebagai Adipati Pengging bergelar Ki Ageng Pengging Sepuh.
Selain itu, Handayaningrat juga dihadiahi salah satu putri Majapahit-Keling yakni Ratna Ayu Pembayun putri Dyah Ranawijaya (raja terakhir Keling). Ratna Ayu Pembayun adalah kakak sepupu raja Daha, Batara Vigiaya. Dari pernikahan Handayaningrat dengan Ratna Pembayun kemudian lahirlah Pangeran Kebo Kanigara, Pangeran Kebo Kenanga, dan Nyai Ageng Tingkir.
Serat Kandha mengisahkan ketika pasukan Demak (di bawah Sultan Arya Trenggana) kemudian menyerang Daha tahun 1527, Handayaningrat berdiri di pihak Daha. Dia gugur dalam perang tersebut.
Dengan takluknya Daha, maka takluk pula semua daerah bawahannya menjadi bawahan Demak. Namun demikian Pangeran Kebo Kenanga tetap dipercaya oleh Sultan Arya Trenggana untuk menjadi pemimpin di Pengging bergelar Ki Ageng Pengging Anom.
Aliansi Pengging-Lemah Abang
Kyai Ageng Pengging alias Pangeran Kebo Kenanga adalah tokoh yang namanya disebut dalam Babad Tanah Jawi dan beberapa naskah lain dengan kala waktu yang serupa. Sesuai dengan namanya, ia bertempat tinggal di Pengging, sekarang berada di Kecamatan Banyudono, Boyolali.
Kedua putra Handayaningrat ini; Kebo Kanigara dan Kebo Kenanga rupanya menempuh jalan hidup yang berbeda. Kebo Kanigara yang setia pada agama lama meninggal saat bertapa di puncak Gunung Merapi. Sedangkan Kebo Kenanga masuk Islam di bawah bimbingan Syaikh Siti Jenar alias Syaikh Lemah Abang.
Menurut Serat Siti Jenar, Kebo Kenanga bertemu Syaikh Siti Jenar sesudah menjadi penguasa Pengging. Dikisahkan keduanya berdiskusi tentang persamaan teoretis dalam agama Hindu, Buddha, dan Islam namun berbeda keyakinan.
Pangeran Kebo Kenanga akhirnya tetap dipercaya oleh penguasa Demak untuk memimpin Kadipaten Pengging di bawah Demak. Dia menjadi penguasa Pengging menggantikan ayahnya. Namun, dia tidak menjalani hidup mewah sebagaimana para bupati umumnya, melainkan hidup sebagai petani membaur dengan rakyatnya.
Jaka Pengging menjadi Jaka Tingkir
Pangeran Kebo Kenanga menikah dengan kakak perempuan Ki Ageng Butuh (murid Syaikh Siti Jenar pula). Dari perkawinan itu lahir seorang putra bernama Mas Karebet.
Karena kedekatannya dengan Syaikh Siti Jenar, Pangeran Kebo Kenanga alias Ki Ageng Pengging Anom dicurigai oleh pihak Demak (Arya Trenggana) hendak memberontak. Patih Wanapala (versi Serat Siti Jenar menyebut Patih Wanasalam) dikirim ke Pengging untuk menyampaikan teguran. Namun karena teguran demi teguran yang dikirim ke Pengging tidak membuat sikap Pangeran Kebo Kenanga berubah, akhirnya Sultan Arya Trenggana terpaksa melakukan jalan kekerasan dengan menghukum mati Ki Ageng Pengging.
Menurut Serat Siti Jenar, Ki Ageng Pengging meninggal karena kemauannya sendiri, bukan karena dihukum mati oleh Sunan Kudus. Pada intinya, kematian Ki Ageng Pengging disebabkan karena penolakannya terhadap pemerintahan Demak.
Sepeninggal Ki Ageng Pengging dan istrinya, Karebet diambil sebagai anak angkat oleh bibinya, Nyai Ageng Tingkir (janda Ki Ageng Tingkir), sehingga setelah dewasa, Karebet pun dijuluki sebagai Jaka Tingkir.
Mas Karebet mengabdi ke Demak
Dalam Babad Tanah Jawi dikisahkan bahwa, Jaka Tingkir kemudian ingin mengabdi ke Demak. Beberapa kejadian menarik mengikuti Jaka Tingkir, baik dalam perjalanan menuju Demak maupun pada saat mengabdi di Demak.
Diceritakan bahwa pada suatu hari Sultan Trenggana sekeluarga sedang berwisata di Gunung Prawoto. Jaka Tingkir kemudian melepas seekor kerbau yang dinamakan sebagai Kebo Danu. Kerbau Danu sudah diberi tanah pada telinganya, sehingga kerbau merasa tidak nyaman dan mengamuk.
Kerbau itu mengamuk menyerang pesanggrahan raja, di mana tidak ada prajurit yang mampu menaklukan si kerbau. Di saat seperti itu akhirnya Jaka Tingkir muncul dan menjadi penyelamat raja dan keluarganya. Kerbau itu dengan mudah dibunuhnya. Atas jasanya itu, Trenggana mengangkat Jaka Tingkir menjadi lurah wiratamtama.
Prestasi Jaka Tingkir sangat cemerlang meskipun tidak diceritakan secara jelas dalam Babad. Hal itu dapat dilihat dengan diangkatnya Jaka Tingkir sebagai Adipati Pajang. Wilayah Pajang saat itu meliputi daerah Pengging (sekarang kira-kira mencakup Boyolali dan Klaten), Tingkir (daerah Salatiga), Butuh, dan sekitarnya. Dia juga menikahi Ratu Mas Cempaka, putri Sultan Trenggana.
Runtuhnya Demak
Sepeninggal Sultan Trenggana tahun 1546, terjadi perebutan tahta di Kerajaan Islam tertua di Jawa tersebut. Saat itu Putra mahkota yang bernama Raden Mukmin naik tahta bergelar Susuhunan Prawata naik takhta, tapi ditentang oleh sepupunya yang merupakan cucu tertua Sultan Trenggana bernama Arya Penangsang (adipati Jipang) konflik antara mereka terjadi selama tiga tahun dari 1546 hingga tahun 1549.
Arya Penangsang kemudian berhasil meraih kemenangan setelah menyingkirkan Susuhunan Prawata. Selain itu Arya Penangsang juga membunuh Pangeran Hadiri suami dari Ratu Kalinyamat adipati Jepara.
Demak semakin kacau, putra bungsu Sultan Trenggana yang bernama Pangeran Timur Rangga Jumena diselamatkan dan diasuh di Jepara ini. Sementara jabatan pemimpin persekutuan Adipati Pesisir yang sebelumnya dijabat oleh Sultan Trenggana kemudian beralih kepada Adipati Surabaya, Panji Wiryakrama.
Konflik yang berlarut-larut di Demak antara Arya Penangsang melawan semua anak dan meanntu Sultan Trenggana kemudian membuat Susuhunan Kudus turun tangan. Berkat saran dan nasihat gurunya itu Arya Penangsang akhirnya menerima keputusan dan dia beserta keluarganya dan adiknya yang bernama Arya Mataram pindah ke Palembang, menjadi penguasa di sana.
Berdirinya Pajang
Setelah peristiwa tahun 1549 tersebut, Pusat kerajaan Demak kemudian dipindah ke Pajang dengan Mas Karebet alias Jaka Tingkir sebagai raja pertama. Kekuasaannya menurut Penulis sebenarnya hanyalah sebagai Wali dari Pangeran Timur Rangga Jumna, putra sulung Sultan Trenggana yang masih terlalu kecil.
Oleh karena itu, Penulis lebih senang menyebut bahwa Kerajaan Pajang itu tidak ada, melainkan yang ada adalah Kerajaan Demak di Pajang. Sementara Kota Demak sendiri kemudian dijadikan bawahan dengan Arya Pangiri anak Sunan Prawoto yang menjadi Adipatinya.
Pengangkatan Jaka Tingkir itu dilakukan berdasarkan pilihan rakyat Demak Bintara dan persetujuan seluruh Adipati bawahan Demak. Ia lalu memerintahkan agar pemerintahan Demak dipindah ke Pajang.
Seluruh benda-benda pusaka di Demak juga tak luput dari perpindahan tersebut. Pajang terlihat sebagai kerajaan pertama yang muncul di pedalaman Jawa setelah runtuhnya kerajaan Islam di daerah pesisir.
Runtuhnya Pajang
Sepeninggal Sultan Adiwijaya (atau seharusnya sebelum itu) sebenarnya adalah hak dari Adipati Madiun, Rangga Jumena untuk naik tahta. Hal ini mengingat bahwa Sultan Hadiwijaya selama ini hanya sebagai Wali dari putra bungsu Sultan Trenggana tersebut.
Namun justru yang bersaing sebagai raja selanjutnya adalah putra dan menantu Sultan Hadiwijaya, yaitu Pangeran Banawa dan Adipati Demak Arya Pangiri. Atas saran dan nasihat Susuhunan Kudus, Arya Pangiri menjadi Sultan yang baru dan Pangeran Benawa menjadi Adipati di Jipang.
Pemerintahan Sultan Arya Pangiri disibukkan dengan usaha meredam kekuatan Bagus Srubut di Mentaok sehingga kehidupan rakyat Pajang terabaikan. Pangeran Banawa, yang saat itu berada di Jipang, ingin menyelamatkan rakyat dan Kesultanan Demak-Pajang dengan menyingkirkan Arya Pangiri.
Pada tahun 1586 Bagus Srubut bersekutu dengan Pangeran Benawa untuk menyerbu Pajang. Perang antara Sultan Arya Pangiri melawan Pangeran Banawa dan Bagus Srubut berakhir dengan kekalahan Arya Pangiri. Dia dilucuti dari segala kekuasaannya dan dikembalikan sebagai Adipati Demak.
Sejak itu Pangeran Banawa kemudian menjadi Sultan Demak-Pajang yang baru dengan konsekuensi harus mengakui Bagus Srubut sebagai penguasa merdeka di Selatan Merapi.
Akhir Riwayat Pangeran Banawa
Naskah-naskah babad memberitakan versi yang berlainan tentang akhir pemerintahan Pangeran Benawa.
Ada yang menyebut Benawa meninggal dunia tahun 1587, setelah ditaklukkan oleh Bagus Srubut. Kemudian Pangeran Benawa menjadi ulama di Gunung Kulakan bergelar Sunan Parakan.
Namun ada yang menyatakan bahwa Pangeran Benawa menuju ke arah barat dan membangun sebuah pemerintahan yang sekarang bernama Pemalang. Konon dia juga meninggal di Pemalang, di desa Penggarit.
Daftar penguasa Pengging-Pajang
- Handayaningrat (1501-1527), di bawah Majapahit-Keling
- Kebo Kenanga (1527-?), di bawah Demak
- Jaka Tingkir/Sultan Adiwijaya (1568-1583)
- Arya Pangiri/Sultan Awantipura (1583-1586)
- Pangeran Banawa/Sultan Prabuwijaya (1586-1587)
- Pangeran Gagak Baning (1587-1591), di bawah Mataram
- Pangeran Sidawini (1591-1617), di bawah Mataram
Daftar bacaan
- Aji Ramawidi, A Short History of Blambangan.
- Babad Majapahit dan Para Wali Jilid 3.
- Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647.
- Hasan Djafar, Masa Akhir Majapahit.
- H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa.
- H.J.de Graaf. Awal Kebangkitan Mataram.
- Hayati dkk. Peranan Ratu Kalinyamat di jepara pada Abad XVI.
- Moedjianto. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram.
- M. Yamin, Tatanegara Majapahit .
- Nancy, K. Florida. Menyurat Yang Silam, Menggurat Yang Tenggelam.
- Purwadi. Sejarah Raja-Raja Jawa.
- Ricklef, A History of Modern Indonesia since c. 1200, (terbitan ke-4).
- Serat Babad Tanah Jawi Meinsma
- Serat Kandha.
- Serat Syeh Siti Jenar.
- Siwi Sang. GIRINDRA, Pararaja Tumapel Majapahit.
- Slamet Muljana. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya.
- Tjokorda Raka Putra. Babad Dalem.
- Tome Pires. Suma Oriental.
- Winarsih. Babad Blambangan.